Berita Internasional    Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Powered by Blogger.

Popular Posts


Showing posts with label puisi. Show all posts
Showing posts with label puisi. Show all posts

Terlengkap, kumpulan Puisi Chairil Anwar


Suara Jagad - Nama Chairil Anwar abadi bersama puisi-puisi nya yang tak lekang oleh waktu hingga saat ini. Beliau sosok penyair angkatan 45 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis.  (*wikipedia)


Selama hidupnya beliau berhasil membuat beberapa karya tulis berikut diantara karya nya tersebut:
  • Deru Campur Debu (1949)
  • Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
  • Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
  • "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
  • Derai-derai Cemara (1998)
  • Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
  • Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari Puisi Chairil anwar Tentang Cinta, Puisi Chairil Anwar Ibu,  pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.

Kumpulan Puisi Chairil Anwar.
 Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan akan akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi



TAK SEPADAN
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka

Februari 1943


Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ayati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.


Cintaku Jauh di Pulau
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.


Kawanku dan Aku
Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat

Siapa berkata-kata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga

Dia bertanya jam berapa?

Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti


Kepada Kawan
 

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!


Doa
kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling


Kepada Peminta-minta
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku


Cerita Buat Dien Tamaela
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu

Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut

Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau...

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu


Sebuah Kamar
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
d luar hitungan: Kamar begini
3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa!


Hampa
Kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai di puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencengkung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu! 

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS 
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,

Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;

Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.

RUMAHKU
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu

27 april 1943 


PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
1944


Maju

Pengarang: Chairil Anwar

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang

Februari 1943


Karawang Bekasi

Pengarang: Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi


Penerimaan

Pengarang: Chairil Anwar

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.


Maret 1943


Mirat Muda, Chairil Muda

Pengarang: Chairil Anwar

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah mata yang menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.
Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil;
dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti.
Dia rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan dera,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati
-di pegunungan 1943, ditulis 1949


Malam

Pengarang: Chairil Anwar

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
Thermopylae?

jagal tidak dikenal?
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957

Kumpulan Puisi TOTO SUDARTO BACHTIAR

IBUKOTA SENDJA
Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telandjang mandi
Disungai kesajangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lontjeng trem saing-menjaingi
Udara menekan berat diatas djalan pandjang berkelokan

Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam sendja
Mengurai dan lajung-lajung membara dilangit barat daja
O, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Ditengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu

Aku seperti mimpi, bulan putih dilautan awan belia
Sumber-sumber jang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut

Aku tiada tahu apa-apa, di luar jang sederhana
Njanjian-njanjian kesenduan jang bertjanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar dipintu dinihari
Serta dikeabadian mimpi-mimpi manusia

Klakson dan lontjeng bunji bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli jang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesajangan

Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Dibawah bajangan samar istana kedjang
Lajung-lajung sendja melambung hilang
Dalam hitam malam mendjulur tergesa

Sumber-sumber murni menetap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta sendjata dan tangan menahan napas lepas bebas
O, kota kekasih setelah sendja
Kota kediamanku, kota kerinduanku
1951

RIWAJAT
Tiang agung tersambar halilintar
patah ditengah-tengah

kapitan pingsan diatas peta benua
penuh pahatan darah

Kelasi tjuma tarik tali dan pukul tifa
bernjanji: Cherchez la femme, cherchez la femme

Kapal masih djauh dari daratan
Kelumit pahit mengganti gema jang hilang

Sedjak seputaran hidup kapitan membasuh darah
dan pelabuhan telandjang dihaluan
Gema jang hilang mulai pulang

Kelasi tjuma tarik tali dan pukul tifa
terus bernjanji ditimang angin:
Cherchez la femme, cherchez la femme

Kapitan memahatkan darah
dipintu pelabuhan pertama dan mendoa:
Cherchez la personnalite, cherchez la personnalite
1952


PADA SANGKALA
Akan selalu terdengar keluh pandjang terhadapmu
Gangguan jang selalu membatas arwah kami
Akan selalu terdengar kutuk hina terhadapmu
Karena bersekutu dengan jang kami bentji

Mana ada sempat, bitjara dengan diri sendiri
Kapan akan terdengar suara djiwa, suara sanubari
Kepunjaanku, kepunjaan mereka bersama
Kami sesak karena djangkauan tanganmu

Bila kita terdjebak olehmu
Kami tak sempat memilih kata pisah sebaik-baiknja
Begitu terang djalan jang menudju keruntuhan
Begitu kelam dunia jang kami hadapi

Kau tak tahu bagaimana merasakan
Tingkat demi tingkat diatas tangga
Talu-bertalu paku jang menembus tubuh
Apa arti darah dan gairah hidup

Seandainja kamu tak ada didunia kami
Kamipun tak tahu dimensi keempat dan djalan
Tapi akan selalu terdengar olehmu
Keluh pandjang dan kutuk jang paling hina
1955

PERNJATAAN
kepada C.A.

Aku makin mendjauh
Dari tempatmu berkata kesekian kali
Laut-laut makin terbuka
Dibawah langit remadja biru pengap melanda

Apakah tjinta tinggal tjinta, kujup
Tanpa kehendak biar sajup?
Berkata tentang diri sendiri
Berkatja dan kembali berlari?

Balai malam jang gugup
Mendjadi saksi kita berdua
Terhadap makna dan kata-kata
Jang hidup dalam hidup keras berdegup
1955

KAKILANGIT
Jang sampai dimalam bisu
Desah jang mendjadi kalimat terachir
Untuk tekebur dan menolak kedjang lupa
O, kekasih biarpun jang dimana
Dari putus asa sampai lapar putus asa
Kugamit suaraku sendiri
Sampai tak ada jang mendengar
Kemudian. Sampai menemukan sebuah nama:
Jang memantulkan katja: Terlintas bajang-bajang
Sendiri diatas runtuhan
Keruntuhan adalah djedjak tjinta! Tunggu!
1953

TENTANG KEMERDEKAAN
Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
Djanganlah takut kepadanja

Kemerdekaan ialah tanah air penjair dan pengembara
Djanganlah takut kepadanja

Kemerdekaan ialah tjinta salih jang mesra
Bawalah daku kepadanja
1953

PEKARANGAN
Tjinta. Engkau jang sudah sekali datang masuklah
Menjatu diri dengan irama tanpa tepi
Laut jang selalu mengalir, malam tiada berachir
Tjumbu hidup nafas kotaku jang kekal

Dimana angin sangsai tak menghambat tjeritera
Berupa bisik tjintaku masa depan
Serta perempuan-perempuan tahu mengapa
Berharap larut dahaga pada malam-malam sengsara

Dimana pula dalam arti dosa dirumah derai airmata
Redup bulatan djedjakku, redup keruntuhan bajang tjintaku
Menahan dendam melulur sepandjang hari
Dalam nafas kotaku yang kekal selalu!
1953

SUARA
Kapan ada sesuatu, ialah kamarku didalam
Suara penutup paling djauh telah membawa bunji
Sedang kubuat lagi djelaga diri semesta
Dilorong-lorong kelam kotaku Djakarta

Nafsu ialah bandingan suara dan djelaga
O, perempuan-perempuan jang tak tahu bahasa
Arti agung jang mendukung dukana!
O, tingkap tertutup sebelum membuka!

Sekali ini tak ingin lagi kutjari diriku
Kapan lagi hudjan sepi dan bisu
Hingga kapanpun, bila masih ada pertjaja
Pertjajalah pada hubungan jang lama
1953

PAHLAWAN TAK DIKENAL
Sepuluh tahun jang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sajang
Sebuah lubang peluru bundar didadanja
Senjum bekunja mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannja memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sajang

Wadjah sunji setengah tengadah
Menangkap sepi padang sendja
Dunia tambah beku ditengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hudjanpun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnja
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi jang nampak, wadjah-wadjahnja sendiri jang tak dikenalnja

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sajang
Sebuah peluru bundar didadanja
Senjum bekunja mau berkata: aku sangat muda
1953

KETERANGAN
H.B. Jassin. Dimana berachirnja mata seorang penjair?
Kau sudah lama sekali tahu, kuburan dia
Hanjalah nisan kata-katanja selama ini
Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur

Terkadang kalau dia mau
Tulisannja hanja nasib djari jang lemah
Terkadang dia merasa aneh
Kalau anak bisa merasa kehilangan sesuatu

Seperti aku, dimana kata tak tjukup buat berkata
Tertelungkup dibawah bakaran lampu seharian bernjala
Terkadang djemu terus melihat matahari
Pesiar, tanpa kawan berkedjaran

Tanpa merasa tahu tentang apa
Dia menjeret langkahnja
Sampai dimana dia akan tiba
Tapi dengan djari kakinja ditulisnja sebuah sadjak
1955

DUNIA SEBELUM TIDUR
Kenangan mati bagi jang mati
Hormat bagi jang hidup setiakan derita
Ulurkan tanganmu
Sangkutkan sepatu pada kaki berdebu
Dan mimpilah merenung djendela terbuka
Nun adalah dunia dosa, duniaku sajang
Aku berpihak padamu

Kau ingin dengar
Suara angin menghembus kamar
Udjung ketenteraman samar-samar
Dada bertemu dada
Kami bersandar kepadanya
Betapa terkenang, betapa tenang
Bintik hitam dalam dunia jang gelisah

Kenangan hidup hanja bagi jang hidup
Bingkis tjahja
Dalam musim jang segera matang
Menghalau degup rongga berudara sedih
Djari-djari penanggalan
Telah lama
Terlalu lama mengandung topan
1954

FOCUS
untuk Sitor Situmorang

Kalau djarum kematian menusuk detak hati
Aku akan mendjadi asing sendiri
Sangat berarti djeritan jang menolak berpisah
Bisik jang mendera dan mentjinta gerak djantung hari

Ah, akan tertinggal maknaku pada waktu
Bersama ketjintaanku
Lintasan hidup jang kena tjahaja
Gerak jang mewarnai manusia

Hati akan tinggal ubun hati
Kemerahan jang mau menandingi matahari
Panas bulan Djanuari
Punya tanja dan kasih sendiri

Karena djarum yang menikam, detak hati djadi membisu
Terpaksa kuasingkan matahari dan ada jang kuberi salam
Djalinan bisik dan kesan jang berkata sendiri
Lintasan hidup jang kena tjahaja
Gerak jang mewarnai manusia
1953

ODE I
Kutanya, kalau sekarang aku harus berangkat
Kuberi pacarku peluk penghabisan yang berat
Aku besok bisa mati. Kemudian diam-diam
Aku mengendap di balik sendat kemerdekaan dan malam

Malam begini beku, di manakah tempat terindah
Buat hatiku yang terulur padamu megap dan megah
O, tanah
Tanahku yang baru terjaga

Malam begini sepi, di manakah tempat terbaik
Buat peluru pistol di balik baju cabik
O, tanah di mana mesra terpendam rindu
Kemerdekaan yang mengembara ke mana saja

Ingin aku menyanyi kecil, tahu betapa tersandarnya
Engkau pada pilar derita, megap nafasku di gang tua
Menuju kubu musuh di kota sana
Aku tak sempat hitung langkahku bagi jarak

Mungkin pacarku kan berpaling
Dari wajahku yang terpaku pada dinding
Tapi jam tua, betapa pelan detiknya kudengar juga
Di tengah malam yang begini beku

Teringat betapa pernyataan sangat tebalnya
Coretan-coretan merah pada tembok tua
Betapa lemahnya jari untuk memetik bedil
Membesarkan hatimu yang baru terjaga

Kalau sekarang aku harus pergi, aku hanya tahu
Kawan-kawanku akan terus maju
Tak berpaling dari kenangan pada dinding
O, tanah, di mana tempat yang terbaik buat hati dan jiwaku

PUSAT
Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara

Diri mengeras dalam kehidupan
Kehidupan mengeras dalam diri
Dataran pandang meluaskan padang senja
Hidupku dalam tiupan usia

Tinggal seluruh hidup tersekat
Dalam tangan dan kari-jari ini
Kata-kata yang bersayap bisa menari
Kata-kata yang pejuang tak mau mati

AU REVOIR
Pada waktu itu, pada hati waktu
Yang mengandung gelita yang membatu
Burung hantu dan malam
Yang gelisah bagai serdam alam

Bersama kemerdekaan yang terus mengelana
Detik demi detik membebankan nasib dengan bencana
O, terasa nyaman mengenang jalan-jalan di luar penjara
Menajamkan sanggurdi bagi pemacu jalanan!

ETSA
Suara kasih dalam hati malam
Kian lincah, tapi kemudian membeku
Tanpa bulan, karena bulan beradu
Dan hatiku sendiri kian terbenam

KAWAN
Biasanya dia berjalan malam-malam
Menggigil karena angin terlalu tajam
Orang-orang memandangnya dengan membelalak
Tapi aku tidak

Apa yang tak memikatnya sampai ke hati
Lampu dan bintang-bintang menyala tinggi
Matanya sayu membelai semua yang berjalan
Perempuan-perempuan, anak-anak berkejaran

Kalau malam putus asa tambah menurun
langkahnya pun bertambah berat berembun
Kadang-kadang dia berhenti, melihat padaku
Kami sama-sama tersenyum pahit pilu

Aku tak perlu tahu dia siapa
Tapi kami pernah sama mencintai malam
Aku dan dia tak ada bedanya
Hidup keras indah menari depan mata

DANAU M
(untuk Bahar)

Serasa pernah kukenal gunung-gunung ini
Juga paras danau
Yang tepinya tak kelihatan
Sangat lajunya sekunar berkejaran

Burung-burung terbang siang hari
Air gemersik perlahan meninggalkan daunan
Ada daunan layu serba 'kan gugur
Yang dahannya langsing melentur-lentur

Semuanya mengacu padaku
Dan sampai pada jamahan tiada berupa
Hidupnya perasaanku pagi ini
Tapi hidupku tak hidup di sini

JENDELA
Dulu kutengok lagi dari sana, mungkin kau datang
Kebetulan tirai tersingkap angin pagi yang lantang
Mengantar pipimu yang merah tersipu
Alangkah beratnya rindu

Pada jendela berdetik-detik air hujan
Kutahu pasti kau akan tiba
Tak usah memandangku penuh hiba
Aku ingin tahu apa aku bisa pergi selamanya

Tak usah juga engkau menampikku
Karena aku pun sedia pergi
Menuju arah di mana musim-musimnya bisu
Buat selamanya

TEGAK
Antara ada dan tiada
Yang kutahu diriku hanya
Memandang lantun tertinggi hidup kita
Betapa juga pendeknya ...

Cinta, riah musim yang debar-debar jantungnya
Sangat tambah mesra ajakannya
Bersolek di atas cahaya matamu
Betapa sibuknya kupandang sekali

Juga alangkah sibuknya cinta dan kerja
Asyik menghitung satu dua tiga tiada habisnya
Tapi bisa terbengkalai sebab sepi yang datang
Antara ada dan tiada

MUKA
Pada kaca jendela kulihat wajahku
Berat bersinar matinya yang akan tiba
Sangat dekat nafas usia, tapi tak teraba
Tapi aku betul tahu, dia memang wajahku

TANGAN DALAM KELAM
Tangan halus yang bisa merabaku dari jauh
Jadi tangan bisik yang mengulur belas padaku
Tangan mesra yang jari-jarinya sayang
Aku sangat rindu kepadanya

Kalau hidup mengandung neraka
Hendaklah hidupku ini saja
Tanpa hidup orang-orang lain yang baik
Yang tangannya jauh tak berdaya

Tangan halus yang bisa dari jauh cinta padaku
Cukup baik untuk memegangnya
Ah, dunia dosa
Aku kembali bermimpi tentangmu

Takut tanpa ujung karna hidup terlalu cinta
Jari-jariku ingin mengurai wajahnya
Tanpa kaku, tanpa terlena tidur
Karena kantuk semangatku jadi kendur

Tangan yang mengulur mesra kepadaku
Wahai dunia yang gaungnya kudengar
Apa arti jari-jari yang terkulai lapar
Biar dia melambai kepadaku

JEMBATAN TUA
Sudah begitu lama, masih juga aku lalu
Berapa banyak kaki telanjang dan bersepatu
Menggetarkan tangan-tangannya
Yang siang begitu menyala dan malam begitu biru

Bergandengan tangan kadang sepasang merpati
Melambatkan langkahnya dan kemudian berhenti
Waktu memandang ke bawah air bisu mengerdipkan matanya
Berlaksa mimpi menemukan matinya yang indah di sana

Awan yang lena terkaca di atasnya
Sarat mengandung muatan mendungku ini
Tergila-gila memang hatiku yang banyak meminta
Tanpa sebab, dalam terowongan perjalanan yang akan sebentar saja

Tetapi selalu, kalau aku di sana, aku mendengarnya
Suara yang tak habis-habisnya sampai
Kalau engkau sekali menjadi setuaku
Nasibmu mungkin lebih baik dari padaku

GADIS PEMINTA-MINTA
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemanjaan riang

Duniamu yang lebih tinggi
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hapal
Jiwa begitu murni
Untuk bisa membagi dukamu

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda


Tentang Toto Sudarto Bachtiar
Toto Sudarto Bachtiar lahir di Palimanan (Cirebon), 12 Oktober 1929. Pendidikan al, MULO dan SMA di Bandung, kemudian Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta. Pada waktu pecah perang kemerdekaan, ia bergabung dalam Tentara Pelajar Korps Pengawal Divisi Siliwangi di Tasikmalaya, dan pada waktu terjadi Clash ke-1 ia bergabung dengan Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pernah menjadi redaktur majalah Angkasa (milik AURI) sewaktu masih mahasiswa, juga menjadi redaktur majalah Menara di Jakarta, sebelum tahun 1964 turut mendirikan majalah Sunda di Bandung. Sajak-sajaknya mulai bermunculan tahun 1950-an, kebanyakan setelah tahun 1953. Sebagaian dikumpulkan dalam Suara (Kumpulan sajak 1950 - 1955), yang mengantarkan penyair ini memperoleh hadiah sastra nasional dari BMKN. Selain menulis sajak, juga menerjemahkan cerpen, emnulis esai kebudayaan, sastra dan politik.

sumber: dari berbagai sumber

Greatest Marriage Proposal EVER!!!

http://youtu.be/pnVAE91E7kM

KATA BIJAK

http://randiupdate.blogspot.com/2012/10/kata-bijak.html

HASIL DRAWING 8 BESAR LIGA CHAMPION 2012


Apa Ini Cinta?

Saat aku benar benar yakin dengan semua nya knapa..
Dia memilih untuk pergi dari ku..??
Saat aku benar mulai percaya akan adanya
Perasaan yang sama….
Dia mnghilang sperti bui.
Mnggalakan luka yang mndalam untuk q.
Tuhan..!!!
Masih adakah coba’an untuk q?
Coba’an yang mlbihi iini?
Di saat Aku butuh dia ..
Kau biarkan dia pergi dari ku..
…………………….
Kenapa…………???
Aku mulai menangis…
Tangis yang tak perna aku harapkan
Keluar … ? aku bimngung..
Ada apa denga perasaan ku ..?
Apa ini yang orang bilang dengan cinta?
Tapii knapa bukan aku yang bahagia…?
Kanpa aku yang terluka……………….?


Bengkulu, Januari 2012
Rikha Seprianty

memilih dan dipilih

Tak ku sangka dan tak kuduga
kau pancing aku untuk ungkapkan cinta
kau datang disaat aku dilema
memilih dan memilah

saatku tahu kau sayang padaku
dan aku menyayangimu
disaat itu cinta kita tak mungkin bersatu

memilih antara yang satu dengan yang dua
galau aku aku jadinya

tapi aku ingin tetap disisimu
memilih tapi untuk tidak menyakiti

sekarang aku berada
antara dilema dan galau


1-februari-2012
by:randi febrianto

CAROCOK BEACH AND CINGKUAK ISLAND



































 
Copyright © 2014 Suara Jagad. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website and CB Blogger