Berita Internasional    Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Powered by Blogger.

Popular Posts


Showing posts with label sastra. Show all posts
Showing posts with label sastra. Show all posts

Karya sastra Pramoedya Ananta Toer jadi kajian di Eropa


"Kita bisa bandingkan dengan karya Bildungsroman (karya Jerman) atau karya Kafka. Bisa juga dibandingkan dengan The Da Vinci Code karya Dan Brown, Twillight karya Sthepanie Meyer, Harry Potter karya JK Rowling atau Zarathustra karya Fedrich Nietsche."
Surabaya (ANTARA News) - Para sastrawan dan kritikus sastra di Eropa mendirikan pusat studi bernama "Teaching Pram in Europe" di London, Inggris, untuk mengkaji karya sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

"Waktu Pram hidup pada abad ke-19, masyarakat Jawa dan Indonesia identik dengan feodalisme dan kolonialisme, tetapi karya-karya Pram mampu menembus batas itu," kata Pendiri Teaching Pram in Europe, Prof Angus Nicholls, di Surabaya, Selasa.

Di sela seminar sastra bertajuk "Karya Pramoedya Ananta Toer dalam Sastra Bandingan" di Auditorium Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, ia mengatakan ada beberapa alasan yang membuat karya-karya Pram layak dikaji kritikus sastra di Eropa.

"Misalnya, hampir semua karya Pram itu sudah mampu menunjukkan ideologi yang berkembang di Eropa pada akhir abad 19. Mulai dari ideologi marxisme, feminisme, poskolonialisme dan lainnya, padahal masa peralihan penjajahan ke orde baru itu tidak semua sastrawan Indonesia berani menulis karya idealis dan frontal," katanya.

Oleh karena itu, kata pria yang sudah tertarik dengan karya Pram lebih dari 10 tahun itu, selalu ada reaksi keras dari pemerintah ataupun masyarakat setelah membaca karya-karya Pram.

"Begitu pula di Eropa. Sastrawan idealis dan menolak sistem penguasa akan dipenjara atau dikucilkan. Dari catatan saya, Pram juga berkali-kali dipenjara gara-gara karyanya itu," katanya.

Untuk membuktikan jika karya Pram mampu menembus batas pemikiran di Eropa, Angus mencoba membandingkan karya Eropa dan Pram dengan teori hermeneutik, yakni sebuah teori yang melihat karya dengan realita kehidupan.

Sebagai orang Eropa, ia akan melihat realita kehidupan di Eropa dan Indonesia dalam karya-karya sastra pria asal Blora Jawa Tengah itu.

Salah satu karya Pram berjudul Bumi Manusia menjadi kajian hangat di Eropa. Novel ini menceritakan kehidupan pribumi dan orang Eropa bernama Minke, Annelis dan Putri Nyai Ontosoroh.

"Karya ini membawa paham Marxisme dan Feminisme di Eropa, namun yang pasti karya fenomenal ini terus kami teliti di Eropa. Bagaimana dengan kalian mahasiswa Indonesia? Sudah membaca karya ini," kata Angus kepada dosen dan mahasiswa sastra Unitomo.

Sementara dosen Sastra Inggris Unitomo, Hariyono, menambahkan selain menggunakan teori hermeneutik, untuk mengetahui bila karya Pram ini benar-benar masyhur yakni harus dibandingkan dengan karya sastra Eropa yang juga mendunia.

"Kita bisa bandingkan dengan karya Bildungsroman (karya Jerman) atau karya Kafka. Bisa juga dibandingkan dengan The Da Vinci Code karya Dan Brown, Twillight karya Sthepanie Meyer, Harry Potter karya JK Rowling atau Zarathustra karya Fedrich Nietsche," katanya.
Editor: B Kunto Wibisono

antaranews.com

Kumpulan Puisi TOTO SUDARTO BACHTIAR

IBUKOTA SENDJA
Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telandjang mandi
Disungai kesajangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lontjeng trem saing-menjaingi
Udara menekan berat diatas djalan pandjang berkelokan

Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam sendja
Mengurai dan lajung-lajung membara dilangit barat daja
O, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Ditengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu

Aku seperti mimpi, bulan putih dilautan awan belia
Sumber-sumber jang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut

Aku tiada tahu apa-apa, di luar jang sederhana
Njanjian-njanjian kesenduan jang bertjanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar dipintu dinihari
Serta dikeabadian mimpi-mimpi manusia

Klakson dan lontjeng bunji bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli jang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesajangan

Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Dibawah bajangan samar istana kedjang
Lajung-lajung sendja melambung hilang
Dalam hitam malam mendjulur tergesa

Sumber-sumber murni menetap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta sendjata dan tangan menahan napas lepas bebas
O, kota kekasih setelah sendja
Kota kediamanku, kota kerinduanku
1951

RIWAJAT
Tiang agung tersambar halilintar
patah ditengah-tengah

kapitan pingsan diatas peta benua
penuh pahatan darah

Kelasi tjuma tarik tali dan pukul tifa
bernjanji: Cherchez la femme, cherchez la femme

Kapal masih djauh dari daratan
Kelumit pahit mengganti gema jang hilang

Sedjak seputaran hidup kapitan membasuh darah
dan pelabuhan telandjang dihaluan
Gema jang hilang mulai pulang

Kelasi tjuma tarik tali dan pukul tifa
terus bernjanji ditimang angin:
Cherchez la femme, cherchez la femme

Kapitan memahatkan darah
dipintu pelabuhan pertama dan mendoa:
Cherchez la personnalite, cherchez la personnalite
1952


PADA SANGKALA
Akan selalu terdengar keluh pandjang terhadapmu
Gangguan jang selalu membatas arwah kami
Akan selalu terdengar kutuk hina terhadapmu
Karena bersekutu dengan jang kami bentji

Mana ada sempat, bitjara dengan diri sendiri
Kapan akan terdengar suara djiwa, suara sanubari
Kepunjaanku, kepunjaan mereka bersama
Kami sesak karena djangkauan tanganmu

Bila kita terdjebak olehmu
Kami tak sempat memilih kata pisah sebaik-baiknja
Begitu terang djalan jang menudju keruntuhan
Begitu kelam dunia jang kami hadapi

Kau tak tahu bagaimana merasakan
Tingkat demi tingkat diatas tangga
Talu-bertalu paku jang menembus tubuh
Apa arti darah dan gairah hidup

Seandainja kamu tak ada didunia kami
Kamipun tak tahu dimensi keempat dan djalan
Tapi akan selalu terdengar olehmu
Keluh pandjang dan kutuk jang paling hina
1955

PERNJATAAN
kepada C.A.

Aku makin mendjauh
Dari tempatmu berkata kesekian kali
Laut-laut makin terbuka
Dibawah langit remadja biru pengap melanda

Apakah tjinta tinggal tjinta, kujup
Tanpa kehendak biar sajup?
Berkata tentang diri sendiri
Berkatja dan kembali berlari?

Balai malam jang gugup
Mendjadi saksi kita berdua
Terhadap makna dan kata-kata
Jang hidup dalam hidup keras berdegup
1955

KAKILANGIT
Jang sampai dimalam bisu
Desah jang mendjadi kalimat terachir
Untuk tekebur dan menolak kedjang lupa
O, kekasih biarpun jang dimana
Dari putus asa sampai lapar putus asa
Kugamit suaraku sendiri
Sampai tak ada jang mendengar
Kemudian. Sampai menemukan sebuah nama:
Jang memantulkan katja: Terlintas bajang-bajang
Sendiri diatas runtuhan
Keruntuhan adalah djedjak tjinta! Tunggu!
1953

TENTANG KEMERDEKAAN
Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
Djanganlah takut kepadanja

Kemerdekaan ialah tanah air penjair dan pengembara
Djanganlah takut kepadanja

Kemerdekaan ialah tjinta salih jang mesra
Bawalah daku kepadanja
1953

PEKARANGAN
Tjinta. Engkau jang sudah sekali datang masuklah
Menjatu diri dengan irama tanpa tepi
Laut jang selalu mengalir, malam tiada berachir
Tjumbu hidup nafas kotaku jang kekal

Dimana angin sangsai tak menghambat tjeritera
Berupa bisik tjintaku masa depan
Serta perempuan-perempuan tahu mengapa
Berharap larut dahaga pada malam-malam sengsara

Dimana pula dalam arti dosa dirumah derai airmata
Redup bulatan djedjakku, redup keruntuhan bajang tjintaku
Menahan dendam melulur sepandjang hari
Dalam nafas kotaku yang kekal selalu!
1953

SUARA
Kapan ada sesuatu, ialah kamarku didalam
Suara penutup paling djauh telah membawa bunji
Sedang kubuat lagi djelaga diri semesta
Dilorong-lorong kelam kotaku Djakarta

Nafsu ialah bandingan suara dan djelaga
O, perempuan-perempuan jang tak tahu bahasa
Arti agung jang mendukung dukana!
O, tingkap tertutup sebelum membuka!

Sekali ini tak ingin lagi kutjari diriku
Kapan lagi hudjan sepi dan bisu
Hingga kapanpun, bila masih ada pertjaja
Pertjajalah pada hubungan jang lama
1953

PAHLAWAN TAK DIKENAL
Sepuluh tahun jang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sajang
Sebuah lubang peluru bundar didadanja
Senjum bekunja mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannja memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sajang

Wadjah sunji setengah tengadah
Menangkap sepi padang sendja
Dunia tambah beku ditengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hudjanpun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnja
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi jang nampak, wadjah-wadjahnja sendiri jang tak dikenalnja

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sajang
Sebuah peluru bundar didadanja
Senjum bekunja mau berkata: aku sangat muda
1953

KETERANGAN
H.B. Jassin. Dimana berachirnja mata seorang penjair?
Kau sudah lama sekali tahu, kuburan dia
Hanjalah nisan kata-katanja selama ini
Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur

Terkadang kalau dia mau
Tulisannja hanja nasib djari jang lemah
Terkadang dia merasa aneh
Kalau anak bisa merasa kehilangan sesuatu

Seperti aku, dimana kata tak tjukup buat berkata
Tertelungkup dibawah bakaran lampu seharian bernjala
Terkadang djemu terus melihat matahari
Pesiar, tanpa kawan berkedjaran

Tanpa merasa tahu tentang apa
Dia menjeret langkahnja
Sampai dimana dia akan tiba
Tapi dengan djari kakinja ditulisnja sebuah sadjak
1955

DUNIA SEBELUM TIDUR
Kenangan mati bagi jang mati
Hormat bagi jang hidup setiakan derita
Ulurkan tanganmu
Sangkutkan sepatu pada kaki berdebu
Dan mimpilah merenung djendela terbuka
Nun adalah dunia dosa, duniaku sajang
Aku berpihak padamu

Kau ingin dengar
Suara angin menghembus kamar
Udjung ketenteraman samar-samar
Dada bertemu dada
Kami bersandar kepadanya
Betapa terkenang, betapa tenang
Bintik hitam dalam dunia jang gelisah

Kenangan hidup hanja bagi jang hidup
Bingkis tjahja
Dalam musim jang segera matang
Menghalau degup rongga berudara sedih
Djari-djari penanggalan
Telah lama
Terlalu lama mengandung topan
1954

FOCUS
untuk Sitor Situmorang

Kalau djarum kematian menusuk detak hati
Aku akan mendjadi asing sendiri
Sangat berarti djeritan jang menolak berpisah
Bisik jang mendera dan mentjinta gerak djantung hari

Ah, akan tertinggal maknaku pada waktu
Bersama ketjintaanku
Lintasan hidup jang kena tjahaja
Gerak jang mewarnai manusia

Hati akan tinggal ubun hati
Kemerahan jang mau menandingi matahari
Panas bulan Djanuari
Punya tanja dan kasih sendiri

Karena djarum yang menikam, detak hati djadi membisu
Terpaksa kuasingkan matahari dan ada jang kuberi salam
Djalinan bisik dan kesan jang berkata sendiri
Lintasan hidup jang kena tjahaja
Gerak jang mewarnai manusia
1953

ODE I
Kutanya, kalau sekarang aku harus berangkat
Kuberi pacarku peluk penghabisan yang berat
Aku besok bisa mati. Kemudian diam-diam
Aku mengendap di balik sendat kemerdekaan dan malam

Malam begini beku, di manakah tempat terindah
Buat hatiku yang terulur padamu megap dan megah
O, tanah
Tanahku yang baru terjaga

Malam begini sepi, di manakah tempat terbaik
Buat peluru pistol di balik baju cabik
O, tanah di mana mesra terpendam rindu
Kemerdekaan yang mengembara ke mana saja

Ingin aku menyanyi kecil, tahu betapa tersandarnya
Engkau pada pilar derita, megap nafasku di gang tua
Menuju kubu musuh di kota sana
Aku tak sempat hitung langkahku bagi jarak

Mungkin pacarku kan berpaling
Dari wajahku yang terpaku pada dinding
Tapi jam tua, betapa pelan detiknya kudengar juga
Di tengah malam yang begini beku

Teringat betapa pernyataan sangat tebalnya
Coretan-coretan merah pada tembok tua
Betapa lemahnya jari untuk memetik bedil
Membesarkan hatimu yang baru terjaga

Kalau sekarang aku harus pergi, aku hanya tahu
Kawan-kawanku akan terus maju
Tak berpaling dari kenangan pada dinding
O, tanah, di mana tempat yang terbaik buat hati dan jiwaku

PUSAT
Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara

Diri mengeras dalam kehidupan
Kehidupan mengeras dalam diri
Dataran pandang meluaskan padang senja
Hidupku dalam tiupan usia

Tinggal seluruh hidup tersekat
Dalam tangan dan kari-jari ini
Kata-kata yang bersayap bisa menari
Kata-kata yang pejuang tak mau mati

AU REVOIR
Pada waktu itu, pada hati waktu
Yang mengandung gelita yang membatu
Burung hantu dan malam
Yang gelisah bagai serdam alam

Bersama kemerdekaan yang terus mengelana
Detik demi detik membebankan nasib dengan bencana
O, terasa nyaman mengenang jalan-jalan di luar penjara
Menajamkan sanggurdi bagi pemacu jalanan!

ETSA
Suara kasih dalam hati malam
Kian lincah, tapi kemudian membeku
Tanpa bulan, karena bulan beradu
Dan hatiku sendiri kian terbenam

KAWAN
Biasanya dia berjalan malam-malam
Menggigil karena angin terlalu tajam
Orang-orang memandangnya dengan membelalak
Tapi aku tidak

Apa yang tak memikatnya sampai ke hati
Lampu dan bintang-bintang menyala tinggi
Matanya sayu membelai semua yang berjalan
Perempuan-perempuan, anak-anak berkejaran

Kalau malam putus asa tambah menurun
langkahnya pun bertambah berat berembun
Kadang-kadang dia berhenti, melihat padaku
Kami sama-sama tersenyum pahit pilu

Aku tak perlu tahu dia siapa
Tapi kami pernah sama mencintai malam
Aku dan dia tak ada bedanya
Hidup keras indah menari depan mata

DANAU M
(untuk Bahar)

Serasa pernah kukenal gunung-gunung ini
Juga paras danau
Yang tepinya tak kelihatan
Sangat lajunya sekunar berkejaran

Burung-burung terbang siang hari
Air gemersik perlahan meninggalkan daunan
Ada daunan layu serba 'kan gugur
Yang dahannya langsing melentur-lentur

Semuanya mengacu padaku
Dan sampai pada jamahan tiada berupa
Hidupnya perasaanku pagi ini
Tapi hidupku tak hidup di sini

JENDELA
Dulu kutengok lagi dari sana, mungkin kau datang
Kebetulan tirai tersingkap angin pagi yang lantang
Mengantar pipimu yang merah tersipu
Alangkah beratnya rindu

Pada jendela berdetik-detik air hujan
Kutahu pasti kau akan tiba
Tak usah memandangku penuh hiba
Aku ingin tahu apa aku bisa pergi selamanya

Tak usah juga engkau menampikku
Karena aku pun sedia pergi
Menuju arah di mana musim-musimnya bisu
Buat selamanya

TEGAK
Antara ada dan tiada
Yang kutahu diriku hanya
Memandang lantun tertinggi hidup kita
Betapa juga pendeknya ...

Cinta, riah musim yang debar-debar jantungnya
Sangat tambah mesra ajakannya
Bersolek di atas cahaya matamu
Betapa sibuknya kupandang sekali

Juga alangkah sibuknya cinta dan kerja
Asyik menghitung satu dua tiga tiada habisnya
Tapi bisa terbengkalai sebab sepi yang datang
Antara ada dan tiada

MUKA
Pada kaca jendela kulihat wajahku
Berat bersinar matinya yang akan tiba
Sangat dekat nafas usia, tapi tak teraba
Tapi aku betul tahu, dia memang wajahku

TANGAN DALAM KELAM
Tangan halus yang bisa merabaku dari jauh
Jadi tangan bisik yang mengulur belas padaku
Tangan mesra yang jari-jarinya sayang
Aku sangat rindu kepadanya

Kalau hidup mengandung neraka
Hendaklah hidupku ini saja
Tanpa hidup orang-orang lain yang baik
Yang tangannya jauh tak berdaya

Tangan halus yang bisa dari jauh cinta padaku
Cukup baik untuk memegangnya
Ah, dunia dosa
Aku kembali bermimpi tentangmu

Takut tanpa ujung karna hidup terlalu cinta
Jari-jariku ingin mengurai wajahnya
Tanpa kaku, tanpa terlena tidur
Karena kantuk semangatku jadi kendur

Tangan yang mengulur mesra kepadaku
Wahai dunia yang gaungnya kudengar
Apa arti jari-jari yang terkulai lapar
Biar dia melambai kepadaku

JEMBATAN TUA
Sudah begitu lama, masih juga aku lalu
Berapa banyak kaki telanjang dan bersepatu
Menggetarkan tangan-tangannya
Yang siang begitu menyala dan malam begitu biru

Bergandengan tangan kadang sepasang merpati
Melambatkan langkahnya dan kemudian berhenti
Waktu memandang ke bawah air bisu mengerdipkan matanya
Berlaksa mimpi menemukan matinya yang indah di sana

Awan yang lena terkaca di atasnya
Sarat mengandung muatan mendungku ini
Tergila-gila memang hatiku yang banyak meminta
Tanpa sebab, dalam terowongan perjalanan yang akan sebentar saja

Tetapi selalu, kalau aku di sana, aku mendengarnya
Suara yang tak habis-habisnya sampai
Kalau engkau sekali menjadi setuaku
Nasibmu mungkin lebih baik dari padaku

GADIS PEMINTA-MINTA
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemanjaan riang

Duniamu yang lebih tinggi
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hapal
Jiwa begitu murni
Untuk bisa membagi dukamu

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda


Tentang Toto Sudarto Bachtiar
Toto Sudarto Bachtiar lahir di Palimanan (Cirebon), 12 Oktober 1929. Pendidikan al, MULO dan SMA di Bandung, kemudian Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta. Pada waktu pecah perang kemerdekaan, ia bergabung dalam Tentara Pelajar Korps Pengawal Divisi Siliwangi di Tasikmalaya, dan pada waktu terjadi Clash ke-1 ia bergabung dengan Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pernah menjadi redaktur majalah Angkasa (milik AURI) sewaktu masih mahasiswa, juga menjadi redaktur majalah Menara di Jakarta, sebelum tahun 1964 turut mendirikan majalah Sunda di Bandung. Sajak-sajaknya mulai bermunculan tahun 1950-an, kebanyakan setelah tahun 1953. Sebagaian dikumpulkan dalam Suara (Kumpulan sajak 1950 - 1955), yang mengantarkan penyair ini memperoleh hadiah sastra nasional dari BMKN. Selain menulis sajak, juga menerjemahkan cerpen, emnulis esai kebudayaan, sastra dan politik.

sumber: dari berbagai sumber

Gembok


“FRAU Wiechert?”
“Ja.”
Wiechert terjaga karena suara berisik. Suara langkah kaki tergesa menaiki tangga. Pintu dibuka, pertanyaan-pertanyaan, tetangga sebelah banyak bicara dengan setengah menangis. Perkataannya tidak jelas sehingga polisi mengulang jawaban untuk memastikan kebenaran. Wiechert menggeram, bangkit dari tidur, tersaruk meraih sisa kopi semalam. Ia memperhatikan pekerjaan yang belum rampung. Mesin ketik dengan sehelai kertas berisi separuh tulisan teronggok diam. Semalam otaknya mampat dan punggungnya yang terlalu letih butuh istirahat.
Pintunya diketuk. Hanya mengenakan pakaian dalam putih dan jubah melorot di bagian bahu, Wiechert membuka pintu. Tak jauh dari pemilik gedung yang berdiri gugup menyapa, beberapa polisi keluar-masuk tempat tinggal tetangga sebelah. Mereka akhirnya berpesan; bila menemukan perkembangan informasi atau bahkan pelaku, Otto Baumer akan segera diberi tahu.
“Segera betulkan pintumu. Kau diperkenankan mengganti kunci baru dan menambah gembok.”
Otto Baumer, tetangga sebelah, mengucapkan terima kasih. Saat kembali masuk, ia berkeluh kesah dengan keras; bagaimana ia bisa berangkat kerja sedang rumahnya baru saja dibobol maling.
“Pencurian,” kata pemilik gedung mubazir. Sudah jelas kejadiannya begitu masih dikatakan lagi.
”Ja.”
“Pada pukul lima pagi. Nekat sekali.”
“Ja.” Wiechert baru saja merebahkan tubuh saat itu. Tak mendengar apa-apa.
“Herr Klaus-Otto Baumer pergi belanja di toko kelontong 24 jam. Membeli teh dan roti. Saat pulang, pintu sudah terbuka, dicongkel, engselnya rusak, keadaan bagian dalam rumah berantakan. Laci meja tersorok keluar. Lemari terbuka. Pakaian berhamburan. Televisi, simpanan uang, segala barang berharga hilang.”
Wiechert mendengarkan tanpa minat. Tidak ada barang berharga di dalam ruangannya kecuali mesin ketik dan setumpuk naskah setengah jadi—bila maling kelas teri mengerti literasi.
“Polisi curiga pelakunya orang dalam. Bagaimana ia bisa hafal kebiasaan Herr Baumer menyimpan kunci? Bagaimana bisa ia tahu sepagi itu Herr Baumer pergi keluar?”
“Aku tidak tahu.”
“Herr Baumer juga tak tahu. Polisi tidak tahu. Aku juga tidak. Peristiwa ini membuat keadaan menjadi rawan.”
“Ja.”
“Puluhan tahun menyewakan apartemen, ini yang pertama.”
“Ach so.”
“Sebaiknya tidak menyimpan kunci di bawah keset di depan pintu.”
Wiechert melongok ke bawah. Tidak ada keset. Menyadari kesalahannya, pemilik gedung buru-buru mengganti. “Hanya pengandaian. Atau di bagian bawah pot tanaman.”
Wiechert menoleh. Pot tanaman mungil yang diletakkan di sisi kiri pintu Otto Baumer terguling.
“Sebaiknya kau memasang gembok tambahan.”
“Ja.“
Pemilik gedung pamit hendak memberi tahu penghuni lain.
Wiechert mengamati bagian dalam pintu rumahnya. Tanpa lubang intip. Sudah terdapat gerendel. Selalu dikait saat hendak tidur. Gembok? Gembok tambahan adalah ide bagus meski hanya sedikit barang berharga. Wiechert hanya tidak ingin saat ia pergi bagian dalam rumahnya diobrak-abrik maling. Dengan jubah yang sudah dibetulkan letak bahunya, tali di pinggang yang diikat begitu saja, Wiechert pergi ke toko kelontong 24 jam.
“Jangan menyimpan kunci di—” Perempuan itu menirukan gaya bicara pemilik gedung sambil turun tangga. “Aku selalu menyimpan kunci dalam saku.”
Di toko kelontong Wiechert membeli sebungkus roti dan susu kardus dan sebungkus rokok. Ia berdiri di luar, mengunyah sarapan dan minum susu sendirian. Butuh beberapa menit menunggu sarapannya bereaksi dan beberapa kepul rokok untuk menghangatkan tubuh. Dari bayangan kaca perempuan itu memperhatikan rambutnya yang hitam pendek berantakan, matanya berkantung, dan meski sudah ditutupi jubah, bahu kurusnya masih mencuat seperti rangka payung.
Wiechert kembali masuk. “Aku mencari gembok.”
Pelayan memberi tahu supaya ia naik ke lantai dua. Bagian perkakas rumah tangga.
“Aku mencari gembok,” kata Wiechert lagi di lantai dua.
Seorang laki-laki muda, ditindik di antara bibir bagian bawah dan dagu, rambut dicat merah, memberi tanda supaya Wiechert mengikutinya. Ia menunjuk deret bermacam-macam gembok di etalase.
“Aku mencari perlindungan ganda.” Mata Wiechert menelusuri satu demi satu gembok yang ada.
Pemuda itu menunjuk salah satu gembok.
“Bukan yang berwarna kuning. Kurang keamanannya.”
Pelayan itu mengeluarkan sebuah gembok berwarna perak. “H.S.G.. Extra plus.”
Wiechert menimang-nimang. “Apa kepanjangan H.S.G.?“
“Kuncinya tidak bisa dilepas bila tidak dalam posisi menutup.” Itu bukan jawaban atas H.S.G. Pelayan itu hanya menyebutkan kelebihan barang yang dijualnya. Kemudian ia mendemonstrasikan cara membuka dan menutup; memasukkan kunci, memutar, posisi gembok terbuka, kunci ditarik namun tidak bisa, baru ketika posisi gembok kembali ditutup kunci berhasil dicabut.
“Seperti hati dan cinta. Bila ada cinta, hati siap membuka untuk menyambutnya. Bila tidak, hati akan tertutup.” Wiechert tidak tahu mengapa tiba-tiba ia mengucapkan satu kalimat dari naskah yang sedang ditulisnya.
“Ja, ja.” Pelayan itu tiba-tiba menyahut tertarik. “Anda penulis?”
Wiechert menggeleng. “Hanya mengoceh.”
“Tapi kalimat Anda bagus.”
“Berapa harganya?”
“Hanya ada satu kunci untuk satu gembok.” Pelayan itu masih bertahan. “Apa artinya?”
Wiechert memeriksa sisa rokok. Sudah hampir habis. Ia menjatuhkan puntung dan menginjaknya gepeng. “Bila bukan kunci yang tepat, gembok tidak akan mau dibuka. Bila bukan cinta yang tepat, hati tak akan hendak terbuka.”
Mendengar penjelasan Wiechert, mata pelayan itu berbinar-binar. Wiechert memeriksa tindikan dan warna rambut dan tato yang terlihat sedikit ujungnya dari balik kemeja kerja. “Kau suka membaca cerita cinta.”
“Jörg.” Pelayan itu memperkenalkan diri lalu merendahkan volume suara. “Aku membaca roman popular. Tema cinta-cintaan selalu menarik perhatianku. Penulis favoritku: Helga Brunner, Hilde Anselm, Wiechert Völler—atau Völler Wiechert, aku lupa tepatnya. Seandainya aku bisa bertemu dengan salah satu dari mereka.” Jörg berhenti sebentar. “Tidak ada yang bisa aku ajak bicara mengenai roman cinta-cintaan di sini.”
“Aku kira teman perempuanmu banyak.”
“Tidak dengan penampilan seperti ini.”
“Kau punya dudukan gembok? Apa istilahnya—tempat untuk mengaitkan gembok saat pintu sudah ditutup?”
Jörg bergeser ke samping. Memilih yang sewarna dan menyerahkan pada Wiechert.
“Berapa harganya?”
“Aku senang bertemu Anda. Menemukan teman mengobrol yang tepat seperti gembok dengan kunci yang tepat.”
Wiechert merogoh saku jubah. Saku kanan. Saku kiri. Mencari uang.
Jörg kembali merendahkan suara. “Anda tidak perlu membayar. Anggap ini hadiah dariku.”
“Tidak bisa begitu.”
“Tunggu di sini.” Jörg membawa pergi gembok, kunci, beserta dudukannya. Ia menjelaskan sedikit pada temannya yang bertugas di belakang meja kasir. Wiechert mendengarnya seperti; perempuan itu kakinya terkilir atau apalah, ia tidak boleh banyak bergerak, aku hanya sedang membantu membayar belanjaan.
Pelayan laki-laki itu kembali dengan menyerahkan belanjaan Wiechert.
“Kau berlebihan.”
“Aku tidak apa-apa. Sungguh.” Lalu, lanjutnya, “Aku bekerja sif pagi sampai sore. Bila Anda kemari lagi untuk berbelanja, mampir ke lantai dua.”
Wiechert mengucapkan terima kasih. Sampai di rumah ia segera memasang dudukan dan mencoba menutup dan membuka untuk memeriksa apakah sudah terpasang baik. Pintu Otto Baumer sudah dipasangi gembok ukuran sangat besar. Laki-laki tua gemuk itu sekarang sedang jongkok membetulkan engsel yang rusak.
“Mencegah jauh lebih baik ketimbang kemalingan.”
“Ja, Herr.” Suara Wiechert mengandung nada simpati.
“Aku membeli gembok dengan perlindungan ganda dengan gembok yang lebih tebal dan mantap.” Otto Baumer kembali pada pekerjaannya. “Sebaiknya kau membeli yang model begitu.”
Wiechert hendak masuk ketika Otto Baumer menyusulkan kalimat berikutnya dengan buru-buru. “Ini pengalaman kurang menyenangkan untukmu yang baru pindah ke sini. Tapi, seperti kata pemilik gedung; setelah puluhan tahun ini yang pertama.”
“Semoga harimu menyenangkan.”
Wiechert merebus air. Sembari menunggu ia kembali menyulut rokok. Mengingat Jörg. Tidak menyangka pemuda itu akan bersungguh-sungguh mau membayari belanjaan. Lumayan. Uang yang tidak jadi keluar bisa ia belikan setok kopi atau rokok untuk hari berikutnya.
Peluit ceret berbunyi nyaring. Wiechert menyeduh kopi dan membawanya ke ruang kerja.
Teringat Jörg, warna biru seragam, tindikan, rambut dicat merah, obrolan cinta teranalogi kunci dan gembok membuat Wiechert menemukan ide baru. Wiechert akan menjadikan karakter unik Jörg sebagai tokoh utama yang jatuh cinta pada seorang pelanggan bulimia. Ini akan jadi cerita roman yang tidak biasa. Semoga kali ini ia mampu menyelesaikan tulisan. Kalau macet, ia akan kembali ke toko kelontong untuk mengobrol mengorek ide.Wiechert menyedot rokok sekali lagi. Suara mesin ketiknya mulai berdentam-dentam. (*)

Desi Puspitasari, adalah novelis dan cerpenis. 
Novelnya The Strawberry Surprise diadaptasi ke layar lebar pada 2014. 
Lahir di Madiun 7 November 1983. Ia bermukim di Yogyakarta. 
Novelnya yang akan terbit berjudul Kris & Silvana.

 Sumber : lakonhidup.wordpress.com

PD Sastra setuju arsip Sitor didigitalisasi



Suara Jagad - Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin setuju seluruh arsip yang menyangkut Sitor Situmorang didigitalisasi untuk melengkapi "Pojok Sitor Situmorang" di Perpustakaan Daerah DKI Jakarta, Taman Ismail Marzuki.

Hal ini dikatakan oleh Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Ariany Isnamurti, ketika ditemui oleh salah satu anak Sitor Situmorang, Iman Situmorang, di kantornya di Jakarta, Senin.

"Tidak masalah jika sudah ada hak cipta dari keluarga. Yang penting dokumen-dokumen itu jangan sampai hancur. Saya segera melaporkannya ke Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin," kata Ariany.

Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin sendiri memiliki ratusan lembar koleksi yang menyangkut Sitor Situmorang, mulai dari tulisan-tulisan kritik, essai, fiksi hingga tulisan-tulisan orang lain tentang sastrawan yang menjadi ketua Lembaga Kebudayaan Nasional pada tahun 1950-an itu.

Selain itu, lanjut Ariany, arsip-arsip tentang penulis cerpen "Ibu Pergi Ke Surga" itu juga disertai beberapa dokumentasi foto serta artikel-artikel yang pernah dipublikasikan di surat kabar.

Data digital dokumentasi Sitor Situmorang akan melengkapi koleksi "Pojok Sitor Situmorang" yang ada di lantai tiga Perpustakaan Daerah DKI Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Sampai berita ini diturunkan, menurut pengamatan Antara, pojok tersebut masih terlihat kosong dan rak-rak yang ada baru diisi beberapa buku Sitor.

Adapun nantinya, sudut tersebut akan berisi semua tulisan yang pernah dihasilkan penyair yang meninggal pada 21 Desember 2014 di Apeldoorn, Belanda, tersebut maupun seluruh karya sastra dari penulis lain yang menyangkut dirinya.

Keluarga Sitor Situmorang berharap pojok ini dapat menjadi sarana riset dan pengetahuan tentang Sitor Situmorang, yang namanya seolah menghilang dari pentas sastra nasional sejak Presiden Suharto berkuasa.

"Harapan kami, jiwa ke-Indonesiaan Sitor bisa tertanam di benak masyarakat yang membaca tulisan-tulisan bapak," ujar Iman Situmorang, anak keempat dari Sitor Situmorang.

Iman menuturkan, pendirian pojok Sitor Situmorang di perpusatakaan Ibu Kota oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta ini merupakan sebuah langkah terobosan untuk mendudukkan kembali sastra sebagai pondasi penting kebudayaan sebuah bangsa.

"Semoga nantinya di perpustakaan-perpustakaan atau di tempat lain di Indonesia akan ada pojok-pojok sastrawan besar lain, seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, W. S. Rendra dan lain-lain," ujar dia.

Sumber : antaranews.com

 
Copyright © 2014 Suara Jagad. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website and CB Blogger